Kaidah - Kaidah Harta Bersama
Oleh : Teddy Lahati, S.H.I., M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Klaten)
Dalam Al-Qur’an, Sunnah dan Fiqh tidak terlihat adanya harta bersama dalam suami istri, akan tetapi dalam islam dikenal adanya pemisahan harta antara suami dan istri.
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun” (Q.S. An-Nisa’-12).
Dalam ayat diatas, tidak dikenal adanya percampuran harta(gono gini) dari suami dan istri, melainkan dijelaskan bahwa masing-masing suami istri memiliki hak atas hartanya masing-masing.
Hadits Nabi Muhammad saw tentang harta dapat dilihat dari hadits berikut, Aisyah ra berkata, “Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan masuk menemui Rasulullah SAW dan berkata, „Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anakanakku selain dari apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa karena perbuatan itu ? Rasulullah SAW menjawab, „ambillah sebagian hartanya dengan jalan yang ma‟ruf secukupnya.” (Muttafaq „alaihi)
Hadist di atas menjelaskan tentang seorang istri yang mempunyai suami yang kikir, yang menahan harta miliknya dan semua pendapatannya kecuali sedikit saja untuk diberikan kepada istri dan anak-anaknya. Pemberian yang sedikit ini tentu saja tidak mencukupi sehingga sang istri merasa harus mengambil kekurangan itu dari harta milik suaminya tanpa izin, karena jika meminta izin pasti tidak akan diberikan. Rasulullah SAW mengizinkan sang istri mengambil harta suaminya tanpa izin sebatas memenuhi kebutuhannya dengan patut dan tidak untuk bersenang-senang dan berlebihan.
Dari hadits ini kita dapat melihat bahwa harta yang dimiliki suami dan juga pendapatannya adalah tetap milik suami. Apabila istri memiliki bagian dalam harta tersebut, tentu saja sang istri memiliki hak untuk mengambil harta bagiannya dan sang suami tidak dapat menghalanginya, apalagi hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya. Hak istri dalam harta suami adalah sebatas nafkah yang wajar untuk kebutuhannya dan lebih dari itu dia tidak boleh mengambilnya kecuali sang suami berkenan.
Hadist ke – 2 : “Apabila seorang wanita berinfak dari makanan yang berada di rumahnya, dengan tidak menghabiskannya, maka ia mendapatkan pahala atas apa yang diinfakkannya itu dan suaminya pun juga mendapatkan pahala atas usahanya mencari rezki itu. Begitu pula dengan pegawainya (yang memasak) juga mendapatkan pahala yang sama, di mana masing-masing tidak mengurangi pahala yang lain.” (HR. Bukhari).
Hadist di atas menjelaskan tentang seorang suami yang pergi bekerja mencari nafkah, kemudian ada pembantunya di rumah yang mengolah makanan dari hasil kerja sang suami, lalu sang istri menginfakkan sebagian dari makanan itu, maka setiap dari mereka mendapatkan bagian pahala, suami mendapatkan pahala sebagai pencari rezeki, pembantu mendapatkan pahala karena telah memasak, dan istri mendapatkan pahala karena menginfakkannya.
Islam tidak mengatur secara rigid tentang adanya pembagian harta bersama. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai harta bersama. pendapat pertama mengatakan Islam tidak mengenal adanya harta bersama kecuali dengan syirkah, sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa terjadinya perkawinan sudah dianggap adanya syirkah antara suami isteri tersebut.
Kompilasi Hukum Islam memandang bahwa dengan adanya aqad perkawinan, terjadilah syirkah baik dalam harta dan lain-lain, sehingga jika terjadi perceraian baik cerai hidup atau mati, masing-masing mendapatkan sebagian dari harta bersama. Pembagian harta bersama menurut ketentuan KHI bukan suatu yang mutlak, karena pada prinsipnya filosofi dalam pembagian harta bersama adalah nilai yang dapat dicapai dengan musyawarah yang didasari prinsip perlindungan hukum, keimanan, keadilan, keseimbangan, musyawarah dan kasih sayang. Olehnya dibutuhkan kaidah dalam memahami problematika hukum harta bersama ini.
Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur perilaku manusia dan perilaku sebagai kehidupan bermasyarakat. Secara umum kaidah dibedakan atas dua hal yaitu kaidah etika atau kaidah hukum.
Pertama Kaidah etika merupakan kaidah yang meliputi norma susila, norma agama dan norma kesopanan. Pada dasarnya kaidah etika datang dari diri dalam manusia itu sendiri contohnya menghormati orangnya yang lebih tua, berbuat baik pada orang tua, saling menghargai, atau malu jika berbuat salah. Namun tidak jarang kaidah etika merupakan kaidah yang datang dari diri manusia misalnya dari ajaran agama contohnya tidak boleh berprilaku jahat pada orang lain.
Kedua Kaidah hukum merupakan kaidah yang memiliki sanksi tegas. Kaidah hukum ialah kaidah yang mengatur hubungan atau intraksi antar pribadi, baik secara langsung atau tidak langsung oleh karena itu kaidah hukum ditujukan untuk kedamaian, ketenteraman, dan ketertiban hidup bersama. Kaidah hukum biasanya ada paksaan yang berwujud ancaman bagi para pelanggarnya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur harta perkawinan dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37.
Penulis mencoba merumuskan kaidah-kaidah hukum dalam harta bersama;
Kaidah Pertama
Harta yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, Pasal 35 menyatakan :
- Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
- Harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri serta harta benda yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain
Kaidah Kedua
Suami/isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak
Pasal 36 menyatakan :
- Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
- Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37 UU Perkawinan menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Ditegaskan di dalam Pasal 31 Ayat ( 1 ) UU Nomor 1 Tahun 1974 mengenai hak dan kewajiban suami istri, yaitu: “ hak dan kewajiban isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”. Pasal 31 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974: “ masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.
Aturan mengenai suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 92 yang berbunyi: Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Oleh karena itu, suami/isteri yang menjual harta bersama baik itu sebagian atau seluruhnya seperti tanah beserta rumah yang tanpa persetujuan istri/suami adalah tidak sah, hal ini dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/Pdt.1977, menyatakan bahwa Jual beli tanah yang merupakan harta bersama yang dijual suami tanpa persetujuan istri adalah tidak sah dan batal demi hukum. Sertifikat tanah yang dibuat atas jual beli yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum.”
Kaidah Ketiga
Harta bersama yang diagunkan sebagai jaminan utang tidak dapat diterima
Gugatan harta bersama yang objek sengketanya masih diagunkan sebagai jaminan utang atau objek tersebut mengandung sengketa kepemilikan akibat transaksi kedua dan seterusnya, maka gugatan atas objek tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.(SEMA 3 2018)
Kaidah Keempat
Harta bersama dapat dikumulasi dengan gugat waris selama masih ada keterkaitan
Komulasi gugatan waris dengan harta bersama pada prinsipnya tidak boleh dilakukan, namun jika di dalam harta waris masih terkait di dalamnya herta bersama, maka hal tersebut dapat di selesaikan bersama-sama karena bukan dikategorikan sebagai komulasi gugatan (SEMA 5 2014)
Kaidah Kelima
Harta bersama tidak selamanya dibagi 50-50
Istri yang menjalankan peran ganda, yakni mengurus rumah tangga sekaligus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dapat diberikan bagian harta bersama melebihi mantan suaminya. (Putusan 78 K/Ag/2021)
Kaidah keenam
Harta bersama belum dapat dibagi demi mewujudkan kepentingan anak
Mantan suami atau mantan isteri yang menggugat harta bersama keduanya, bila terbentur dengan kepentingan terbaik bagi anak, misalnya rumah tersebut menjadi tempat tinggal anak maka belum dapat dibagi, dengan kata lain jika gugatan harta bersama berpotensi menghalangi terwujudnya kepentingan terbaik bagi anak maka gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (Putusan 159 K/Ag/2018)